Senin, 07 Juni 2021

Analisis Berita

Alasan Sri Mulyani Setop Pidanakan Pengemplang Pajak

[Sumber Berita]

A. Analisis Sisi Sosial-Ekonomi

        Perpajakan memegang peranan yang sangat penting dalam pembangunan nasional, karena perpajakan digunakan untuk mendanai proyek-proyek pembangunan pemerintah. Pajak telah menjadi sumber pendapatan terbesar negara. Pajak merupakan kewajiban dan kewajiban warga negara dalam membayarnya. Kemudian, sifat wajib akan memiliki konsekuensi bagi yang melanggarnya. Lalu, dilihat dari sudut pandang atau perspektif sosial-ekonomi, pemerintah selaku pemegang kendali yang memiliki kewenangan dalam representatif dan atribusi pembuatan aturan sebagai wujud penerapan perlindungan yang bertujuan menjaga ketertiban, keamanan, dan memberi efek jera atau sanksi kepada para pelanggarnya. Wujud penerapan yang dilakukan untuk para pengemplang atau penghindar pajak yaitu dengan menghentikan sanksi pidana bagi para pengemplang pajak yang sebagai gantinya hanya akan fokus terhadap penyelesaian administrasi demi menambah pemasukan negara yang bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat dan dapat meningkatkan kualitas serta kuantitas dalam pembangunan negara. Akan tetapi, dalam pelaksanaanya terdapat resiko yaitu apabila terjadinya kolusi dalam pelaksanaan hukuman tersebut, negara tetaplah mengalami kerugian. Seperti terjadinya kerjasama antara pihak pembuat aturan tersebut dengan pelaku pelanggaran pajak, jadi dapat berakibat para pelanggar pajak tidak membayar pajak, negara tetap mengalami  kerugian yang akan berdampak pada kehidupan sosial ekonomi masyarakat akan menyebabkan permasalahan terhambatnya pembangunan dalam bidang pendidikan, kesehatan, subsidi, serta terhambatnya kegiatan birokrasi.

B. Analisis Sisi Hukum

        Dalam hukum di Indonesia yang tercantum dalam undang-undang Nomor 16 Tahun 2009 pengertian pajak yaitu "kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat." Sanksi yang diberikan kepada penghindar pajak terdapat dua sanksi yaitu, sanksi pidana dan sanksi administrasi. Sanksi pidana yang digunakan berupa siksaan atau penderitaan, alat pencegah atau sebagai perlindungan hukum yang digunakan oleh fiskus agar norma perpajakan dapat dipatuhi. Sanksi administrasi yang diterapkan berupa pembayaran bunga dan kenaikan, sanksi administrasi ini diberikan berupa pembayaran kerugian kepada negara yang disebabkan oleh Wajib Pajak. Dalam hal ini, Menteri Keuangan (Sri Mulyani) untuk hanya menetapkan sanksi administrasi saja terhadap para pengemplang pajak, yang pada aturan sebelumnya hanya terdapat sanksi pidana dalam Tata Cara Perpajakan yang mengatur tentang tindak pidana perpajakan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 38, 39, 39A, 41, 41A.

C. Analisis Secara Pribadi 

        Pengaturan yang ditetapkan Menteri Keuangan (Sri Mulyani) ini tetap sejalan dengan spirit UU KUP dan justru memberi jalan keluar. Pemungutan pajak dijalankan atas dasar hukum yaitu UU KUP (Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan) agar pemerintah tidak melakukan tindakan sewenang-wenang dalam memungut pajak. Tidak hanya bagi pemerintah saja, masyarakat/wajib pajak yang melakukan pengemplang pajak juga dikenai sanksi menurut hukum yang berlaku, namun menurut Menteri Keuangan (Sri Mulyani) sanksi pidana hanya membuat jera para wajib pajak tidak menambah pemasukan negara, maka dari itu pemerintah berencana akan menghentikan sanksi pidana bagi para pengemplang pajak yang sebagai gantinya hanya akan fokus terhadap penyelesaian administrasi demi menambah pemasukan negara dalam mensejahterakan masyarakat. Menurutnya, hal tersebut yang ingin diatasi dengan jalan keluar yaitu, sepanjang belum dituntut boleh membayar pajak yang kurang dengan sanksi 300% dan khusus pidana pasal 39A dikenai sanksi 400%. Dengan adanya aturan hukum baru tersebut diharapkan menimbulkan efek jera kepada para oknum pelaku pengemplang pajak.

        Pemungutan pajak sendiri tidak semata-mata untuk kepentingan negara saja, melainkan dengan adanya pajak tersebut negara memberikan bantuan subsidi kepada masyarakat berupa banyak hal seperti contoh nya subsidi BBM, subsidi listrik, layanan kesehatan, dan dana desa bagi rakyat miskin, itu semua dilakukan demi kelangsungan hidup masyarakat agar sejahtera. Oleh karena itu, Menteri Keuangan (Sri Mulyani) berpendapat bahwa dalam kondisi saat ini untuk berfokus dalam hal melakukan pemberian sanksi pembayaran dengan bunga yang tinggi kepada para pengemplang pajak daripada terdapat adanya sanksi pidana dan denda yang tidak menutup kerugian negara. Pemerintah ingin fokus dalam kegiatan rekonsiliasi administrasi (sanksi administrasi) yang berguna untuk meningkatkan pemasukan negara guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat sehingga dapat mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi. Pada dasarnya, hukum Undang-Undang KUP menganut hukum tata usaha negara yang memiliki unsur pidana di dalamnya. Inilah yang menyebabkan terjadinya tidak ekstensif pada UU KUP. Terkait hal tersebut, negara hanya fokus terhadap pemberian hukuman atau sanksi terhadap para pengemplang pajak sehingga yang terjadi hanyalah waktu terbuang secara sia-sia dan negara tetap mengalami kerugian.

Disusun Oleh: 

Nama   : Nadiya Aulia Khairunnisa

NIM      : 1902056057

Kelas    : IH-B4

BACA JUGA :

Pajak Orang Super Kaya Bakal Naik, Simak Rincian Tarif PPH yang Berlaku Saat Ini

Gali Potensi Pajak, Sri Mulyani: DJP Olah Ratusan Jenis Data

Duh... 24 Kantor Pelayanan Pajak Ditutup, Ada Apa?

Transaksi Kripto Bakal Kena Pajak, Kapan Aturan Keluar?




Selasa, 06 April 2021

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERPAJAKAN OPTIMAL DALAM PERSPEKTIF HUKUM PAJAK BERFALSAFAH PANCASILA


[Sumber Jurnal]

    Pancasila memberikan pegangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk di dalamnya posisi pajak dalam kehidupan bernegara. Sementara kajian mengenai hukum pajak berfalsafah Pancasila yang ada masih terbatas pada kesesuaian hukum pajak terhadap Pancasila, belum mendiskripsikan karakteristik pajak yang diinginkan Pancasila. Karakteristik hukum pajak berfalsafah Pancasila penting didiskripsikan, karena Pancasila sebagai jiwa serta pedoman hidup bangsa (aspek material) dan sumber dari segala sumber hukum Negara Indonesia (aspek formal) , tidak semata-mata menjadi standar nasional, tetapi lebih jauh lagi, ia menjadi pedoman nasional. Sebagai tambahan, pedoman nasional ini lahir bukan pada saat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, tetapi saat disahkannya Pembukaan dan Batang Tubuh UUD pada tanggal 18 Agustus 1945. Tambahan ini penting untuk menunjukkan bahwa produk hukum pasca 18 Agustus 1945 termasuk di dalamnya hukum pajak, haruslah linier terhadap pedoman negara.

    Berdasarkan UU  KUP Nomor 28 Tahun 2007, pasal 1, ayat 1, pengertian pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Berdasarkan pengertian tersebut, maka pajak memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

1. Pajak Merupakan Kontribusi Wajib Warga Negara

2. Pajak Bersifat Memaksa untuk Setiap Warga Negara

3. Warga Negara Tidak Mendapat Imbalan Langsung

    Pajak dipungut oleh pemerintah pusat maupun daerah, yakni ada pembagian antara pemberi kewenangan dan penerima kewenangan dalam pemungutan pajak. Secara yuridis, yang berkaitan dengan pemberian kewenangan tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, perluasan kewenangan perpajakan dan retribusi tersebut dilakukan dengan memperluas basis pajak Daerah dan memberikan kewenangan kepada Daerah dalam penetapan tarif. Legislatif merupakan merupakan organ negara yang memberi kewenangan memungut pajak, sedangkan eksekutif menjadi organ negara yang menerima kewenangan untuk memungut pajak. Selain pembagian bersifat horisontal ini, juga terdapat pembagian kewenangan secara vertikal. Pembagian vertikal berhulu pada sistem negara kesatuan yang dianut Indonesia.

    Ada 2 (dua) aspek dari karakteristik hukum pajak berfalsafah Pancasila yang linear terhadap perpajakan optimal, yakni material dan politik. Kedua aspek ini pada intinya menginginkan peningkatan penerimaan pajak yang harus meminimalkan beban tambahan (excess burden) yang ditimbulkan oleh sistem pajak. Ini merupakan tujuan yang sama dengan kajian Frank Ramsey dan James Mirrless. Hanya saja untuk aspek kultural, ada ketidakcocokan bahkan pertentangan antara hukum pajak berfalsafah Pancasila dan perpajakan optimal. Obyek pertentangannya ialah pajak penghasilan bertarif progresif. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa masyarakat menganggap pajak penghasilan bertarif progresif merupakan situasi yang adil, sementara perpajakan optimal menganggap itu tidak menghadirkan kesejahteraan total.

    Sedangkan, pancasila merupakan dasar statis untuk mempersatukan individu dalam kehidupan bersama sekaligus menjadi penuntun yang bersifat dinamis, yang mengarahkan bangsa dan negara dalam mencapai tujuannya. Pada tataran konstitusi, semangat pembentukan negara kesejahteraan ditunjukkan melalui Penjelasan UUD 1945 yang menyebutkan: Alinea kedua: negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Alinea keempat: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi keadilan sosial. Hal yang sama juga ditunjukkan pada pidato Soekarno dalam sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, yang menyatakan: Rakyat ingin sejahtera. Rakyat yang tadinya merasa dirinya kurang makan, pakaian, menciptakan dunia baru yang di dalamnya ada keadilan, di bawah pimpinan ratu adil. Oleh karena itu jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat, mencintai rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip sociale rechtvaardigheid ini, yaitu bukan saja persamaan politik tetapi pun di atas lapangan ekonomi kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya. Baik konstitusi maupun pidato Soekarno, secara eksplisit menyebutkan negara kesejahteraan. Konsekuensinya, negara atau pemerintah mempunyai kewajiban mutlak untuk menyelenggarakan kesejahteraan rakyat. Aspek inilah yang menjadi ranah material pajak garapan Pancasila.

BACA JUGA:

Segi Ekonomi

Segi Sosiologis

Segi Yuridis

Disusun Oleh: Nadiya Aulia Khairunnisa (1902056057)


Analisis Berita

Alasan Sri Mulyani Setop Pidanakan Pengemplang Pajak [Sumber Berita] A. Analisis Sisi Sosial-Ekonomi           Perpajakan memegang peranan y...