Pancasila memberikan pegangan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk di dalamnya posisi pajak dalam
kehidupan bernegara. Sementara kajian mengenai hukum pajak berfalsafah
Pancasila yang ada masih terbatas pada kesesuaian hukum pajak terhadap
Pancasila, belum mendiskripsikan karakteristik pajak yang diinginkan Pancasila.
Karakteristik hukum pajak berfalsafah Pancasila penting didiskripsikan, karena
Pancasila sebagai jiwa serta pedoman hidup bangsa (aspek material) dan sumber
dari segala sumber hukum Negara Indonesia (aspek formal) , tidak semata-mata
menjadi standar nasional, tetapi lebih jauh lagi, ia menjadi pedoman nasional.
Sebagai tambahan, pedoman nasional ini lahir bukan pada saat Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945, tetapi saat disahkannya Pembukaan dan Batang Tubuh
UUD pada tanggal 18 Agustus 1945. Tambahan ini penting untuk menunjukkan bahwa
produk hukum pasca 18 Agustus 1945 termasuk di dalamnya hukum pajak, haruslah
linier terhadap pedoman negara.
Berdasarkan UU KUP
Nomor 28 Tahun 2007, pasal 1, ayat 1, pengertian pajak adalah
kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang
bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan
secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
Berdasarkan
pengertian tersebut, maka pajak memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1. Pajak Merupakan Kontribusi Wajib Warga Negara
2. Pajak Bersifat Memaksa untuk Setiap Warga
Negara
3. Warga Negara Tidak Mendapat Imbalan Langsung
Pajak dipungut oleh pemerintah pusat
maupun daerah, yakni ada pembagian antara pemberi kewenangan dan penerima
kewenangan dalam pemungutan pajak. Secara yuridis, yang berkaitan dengan
pemberian kewenangan tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, perluasan
kewenangan perpajakan dan retribusi tersebut dilakukan dengan memperluas basis
pajak Daerah dan memberikan kewenangan kepada Daerah dalam penetapan tarif. Legislatif
merupakan merupakan organ negara yang memberi kewenangan memungut pajak,
sedangkan eksekutif menjadi organ negara yang menerima kewenangan untuk
memungut pajak. Selain pembagian bersifat horisontal ini, juga terdapat
pembagian kewenangan secara vertikal. Pembagian vertikal berhulu pada sistem
negara kesatuan yang dianut Indonesia.
Ada 2 (dua) aspek dari karakteristik
hukum pajak berfalsafah Pancasila yang linear terhadap perpajakan optimal,
yakni material dan politik. Kedua aspek ini pada intinya menginginkan
peningkatan penerimaan pajak yang harus meminimalkan beban tambahan (excess
burden) yang ditimbulkan oleh sistem pajak. Ini merupakan tujuan yang sama
dengan kajian Frank Ramsey dan James Mirrless. Hanya saja untuk aspek kultural,
ada ketidakcocokan bahkan pertentangan antara hukum pajak berfalsafah Pancasila
dan perpajakan optimal. Obyek pertentangannya ialah pajak penghasilan bertarif
progresif. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa masyarakat menganggap pajak
penghasilan bertarif progresif merupakan situasi yang adil, sementara
perpajakan optimal menganggap itu tidak menghadirkan kesejahteraan total.
Sedangkan, pancasila merupakan dasar
statis untuk mempersatukan individu dalam kehidupan bersama sekaligus menjadi
penuntun yang bersifat dinamis, yang mengarahkan bangsa dan negara dalam
mencapai tujuannya. Pada tataran konstitusi, semangat pembentukan negara
kesejahteraan ditunjukkan melalui Penjelasan UUD 1945 yang menyebutkan: Alinea
kedua: negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Alinea keempat: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi keadilan sosial. Hal yang sama juga ditunjukkan pada pidato
Soekarno dalam sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, yang menyatakan: Rakyat ingin
sejahtera. Rakyat yang tadinya merasa dirinya kurang makan, pakaian,
menciptakan dunia baru yang di dalamnya ada keadilan, di bawah pimpinan ratu
adil. Oleh karena itu jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat,
mencintai rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip sociale rechtvaardigheid
ini, yaitu bukan saja persamaan politik tetapi pun di atas lapangan ekonomi
kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya.
Baik konstitusi maupun pidato Soekarno, secara eksplisit menyebutkan negara
kesejahteraan. Konsekuensinya, negara atau pemerintah mempunyai kewajiban
mutlak untuk menyelenggarakan kesejahteraan rakyat. Aspek inilah yang menjadi
ranah material pajak garapan Pancasila.
BACA JUGA:
Disusun Oleh: Nadiya Aulia Khairunnisa (1902056057)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar