Selasa, 06 April 2021

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERPAJAKAN OPTIMAL DALAM PERSPEKTIF HUKUM PAJAK BERFALSAFAH PANCASILA


[Sumber Jurnal]

    Pancasila memberikan pegangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk di dalamnya posisi pajak dalam kehidupan bernegara. Sementara kajian mengenai hukum pajak berfalsafah Pancasila yang ada masih terbatas pada kesesuaian hukum pajak terhadap Pancasila, belum mendiskripsikan karakteristik pajak yang diinginkan Pancasila. Karakteristik hukum pajak berfalsafah Pancasila penting didiskripsikan, karena Pancasila sebagai jiwa serta pedoman hidup bangsa (aspek material) dan sumber dari segala sumber hukum Negara Indonesia (aspek formal) , tidak semata-mata menjadi standar nasional, tetapi lebih jauh lagi, ia menjadi pedoman nasional. Sebagai tambahan, pedoman nasional ini lahir bukan pada saat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, tetapi saat disahkannya Pembukaan dan Batang Tubuh UUD pada tanggal 18 Agustus 1945. Tambahan ini penting untuk menunjukkan bahwa produk hukum pasca 18 Agustus 1945 termasuk di dalamnya hukum pajak, haruslah linier terhadap pedoman negara.

    Berdasarkan UU  KUP Nomor 28 Tahun 2007, pasal 1, ayat 1, pengertian pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Berdasarkan pengertian tersebut, maka pajak memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

1. Pajak Merupakan Kontribusi Wajib Warga Negara

2. Pajak Bersifat Memaksa untuk Setiap Warga Negara

3. Warga Negara Tidak Mendapat Imbalan Langsung

    Pajak dipungut oleh pemerintah pusat maupun daerah, yakni ada pembagian antara pemberi kewenangan dan penerima kewenangan dalam pemungutan pajak. Secara yuridis, yang berkaitan dengan pemberian kewenangan tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, perluasan kewenangan perpajakan dan retribusi tersebut dilakukan dengan memperluas basis pajak Daerah dan memberikan kewenangan kepada Daerah dalam penetapan tarif. Legislatif merupakan merupakan organ negara yang memberi kewenangan memungut pajak, sedangkan eksekutif menjadi organ negara yang menerima kewenangan untuk memungut pajak. Selain pembagian bersifat horisontal ini, juga terdapat pembagian kewenangan secara vertikal. Pembagian vertikal berhulu pada sistem negara kesatuan yang dianut Indonesia.

    Ada 2 (dua) aspek dari karakteristik hukum pajak berfalsafah Pancasila yang linear terhadap perpajakan optimal, yakni material dan politik. Kedua aspek ini pada intinya menginginkan peningkatan penerimaan pajak yang harus meminimalkan beban tambahan (excess burden) yang ditimbulkan oleh sistem pajak. Ini merupakan tujuan yang sama dengan kajian Frank Ramsey dan James Mirrless. Hanya saja untuk aspek kultural, ada ketidakcocokan bahkan pertentangan antara hukum pajak berfalsafah Pancasila dan perpajakan optimal. Obyek pertentangannya ialah pajak penghasilan bertarif progresif. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa masyarakat menganggap pajak penghasilan bertarif progresif merupakan situasi yang adil, sementara perpajakan optimal menganggap itu tidak menghadirkan kesejahteraan total.

    Sedangkan, pancasila merupakan dasar statis untuk mempersatukan individu dalam kehidupan bersama sekaligus menjadi penuntun yang bersifat dinamis, yang mengarahkan bangsa dan negara dalam mencapai tujuannya. Pada tataran konstitusi, semangat pembentukan negara kesejahteraan ditunjukkan melalui Penjelasan UUD 1945 yang menyebutkan: Alinea kedua: negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Alinea keempat: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi keadilan sosial. Hal yang sama juga ditunjukkan pada pidato Soekarno dalam sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, yang menyatakan: Rakyat ingin sejahtera. Rakyat yang tadinya merasa dirinya kurang makan, pakaian, menciptakan dunia baru yang di dalamnya ada keadilan, di bawah pimpinan ratu adil. Oleh karena itu jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat, mencintai rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip sociale rechtvaardigheid ini, yaitu bukan saja persamaan politik tetapi pun di atas lapangan ekonomi kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya. Baik konstitusi maupun pidato Soekarno, secara eksplisit menyebutkan negara kesejahteraan. Konsekuensinya, negara atau pemerintah mempunyai kewajiban mutlak untuk menyelenggarakan kesejahteraan rakyat. Aspek inilah yang menjadi ranah material pajak garapan Pancasila.

BACA JUGA:

Segi Ekonomi

Segi Sosiologis

Segi Yuridis

Disusun Oleh: Nadiya Aulia Khairunnisa (1902056057)


Analisis Berita

Alasan Sri Mulyani Setop Pidanakan Pengemplang Pajak [Sumber Berita] A. Analisis Sisi Sosial-Ekonomi           Perpajakan memegang peranan y...